Home » » PR Ekonomi Presiden RI 2014-2019

PR Ekonomi Presiden RI 2014-2019

Written By Unknown on Kamis, 11 April 2013 | 13.15

Gambar dari capres14.blogspot.com
Bayangkan Anda adalah salah seorang calon Presiden Republik Indonesia dan sekarang adalah  tanggal 10 juli 2014. Kemarin, 9 Juli 2014, adalah pelaksanaan pemungutan suara pilpres. Hasil exit pollyang dilakukan beberapa lembaga survei ternama menyebutkan nama Anda sebagai Capres dengan dukungan terbesar. Kandidat-kandidat Capres kuat lain berhasil Anda kalahkan.
Pilpres 2014 adalah momentum besar karena untuk pertama kalinya Indonesia memiliki seorang presiden yang berhenti pada akhir masa jabatan setelah sebelumnya menempati kursi kepresidenan selama dua kali melalui pemenangan Pemilu. Ia berhenti bukan karena kudeta atau dijatuhkan. Masa gunjang ganjing politik sudah melewati puncaknya dan sekarang akhirnya bangsa Indonesia bisa fokus mencapai amanat pertama pembukaan UUD 1945 yaitu memajukan kesejahteraan umum.
Namun tidak berarti Anda  sebagai presiden dapat berleha-leha dan menyaksikan pertumbuhan ekonomi mencapai 9% dan membawa Indonesia menembus 10 besar ekonomi dunia pada akhir masa jabatan kedua sebagai presiden di 2024.  Ketika angka tersebut dicantum pada tahun 2011 sebagai target MP3EI (Masterplan Percepatan Pembangunan dan Perluasan Ekonomi Indonesia) kita  masih berada pada posisi 16.
Apa rencana ekonomi ampuh Anda untuk meningkatkan pendapatan per kapita penduduk Indonesia dari 3 ribu dolar di 2010 mejadi 15 ribu dolar sehingga total output Indonesia menyusul Korea Selatan, Meksiko, Spanyol, Australia, Kanada dan Russia? Atau Anda sangat optimis dan yakin bisa memimpin Indonesia melebihi proyeksi konsultan global ternama McKinsey Insitute yaitu nomor 7 di dunia?
Pada tanggal 7 Oktober 2003 di Bali,  para pemimpin negara ASEAN menandatangani kesepakatan untuk membentuk ASEAN Economic Community (AEC) yang akan mulai berlaku mulai tahun 2020. Cetak biru AEC menyatakan bahwa AEC akan meningkatkan integrasi ekonomi dan mentransformasi ASEAN menjadi entitas ekonomi dengan free movement of goods, services and skilled labour, and free flow of capital.
Membaca jadwal 2020, Anda mungkin hendak menarik napas lega. Tapi jangan cepat-cepat gembira. Masalahnya  kesepakatan di Filipina pada tahun 2007 bahkan mempercepat waktu penerapan menjadi 2015. Dengan kata lain, Anda hanya punya waktu kurang dari 6 bulan sampai AEC dimulai. Pak/Bu Presiden, ini adalah masalah terbesar Anda yang pertama!
Free movement of goods and services berarti semua tarif barang impor akan turun menjadi nol persen (ada perpanjangan sampai 2018 untuk beberapa produk katagori sensitif). Butir ini memaksa hasil produksi Indonesia untuk berkompetisi langsung dengan negara ASEAN, atau bila tidak mampu  250 juta warga negara Indonesia hanya menjadi konsumen dan pembeli.
Untuk kebebasan dalam sektor finansial, Indonesia bahkan tidak membutuhkan AEC ketika  sejak 1999 entitas usaha asing dapat memiliki 99% saham perbankan di Indonesia dan hampir semua bank swasta  besar di Indonesia sahamnya tidak lagi mayoritas di tangan warga negara Indonesia.
Adapun kesepakatan free movement of skilled labor artinya professional (manager, akuntan, marketing, ahli IT dll) dari  negara ASEAN bisa bekerja di Indonesia sementara 94,4 % tenaga kerja Indonesia yang berpendidikan SMA ke bawah tentu tidak bisa dengan mudah bekerja di negara ASEAN.
Apabila pada tahun 2016 pasar Indonesia dibanjiri produk Vietnam dan Thailand serta banyak pekerja terdidik dari Malaysia dan Filipina mengisi posisi manajer ke atas di perusahaan-perusahaan  di Indonesia, siap-siap saja Anda sebagai presiden yang akan disalahkan.  Dan jangan lupa, pada saat Anda dilantik maka perjanjian Free Trade Arrangement dengan Jepang, Korea, Uni Eropa, India dan Cina telah disetujui dan tinggal menunggu waktu penerapan dalam masa kepresidenan Anda.
Terbukanya pasar ASEAN sebenarnya bisa menjadi kesempatan bagi produsen Indonesia untuk meningkatkan ekspor ke sembilan negara anggota lainnya. Masalahnya, kinerja sektor manufaktur Indonesia tidak lagi seperti pada periode 1990-1996 yang pertumbuhan tahunannya mencapai 12%  dan merupakan sepertiga pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dari total ekspor Indonesia tahun 2011, lebih dari dua pertiga (68,3 %) adalah komoditas atau bahan baku dengan hampir sepertiganya (31,3 %) adalah migas. Hanya 31,4 %  ekspor Indonesia yang merupakan produk manufaktur.  Tapi berbeda dengan Saudi, Kuwait dan Bahrain dengan cadangan minyak raksasa yang masih bertahan lama, migas di Indonesia diperkirakan habis dalam 30-40 tahun lagi.
Tidak seperti Malaysia, Thailand dan Korsel yang mampu bangkit kembali dengan cepat pasca krisis moneter akhir 90-an, pertumbuhan sektor manufaktur Indonesia lebih lambat dari pertumbuhan ekonomi nasional sehingga proporsi manufaktur terhadap total ekonomi menurun sampai 25,7 % pada tahun 2011. Jauh dibawah Thailand yang mencapai 43 % dan Korea Selatan yang 39 %.
Manufaktur bukan lagi motor pertumbuhan ekonomi Indonesia. Padahal sektor ini  di berbagai negara adalah andalan untuk menyerap migrasi pekerja dari sektor pertanian, baik yang temporer setelah menanam pangan dan menunggu panen atau yang permanen tidak mau lagi menjadi petani.  Sektor manufaktur juga secara bertahap meningkatkan pengetahuan teknologi pekerja untuk bertahap memasuki industri high tech seperti yang dilakukan Taiwan, Korsel dan Jepang.
Pada periode 2004-2011 ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan 54,1 %. Sekarang, satu-satunya sub-sektor manufaktur yang tumbuh lebih tinggi adalah peralatan, mesin dan transportasi (67 %) yang sebagian besar berupa mobil dan motor yang tak satupun bermerk nasional. Walaupun cukup banyak komponen dibuat dan perakitannya di Indonesia, namun komponen termahal (mesin) masih diimpor dan sebagian profit dibawa kembali ke negara asal. Penggunaan mobil dan motor juga menimbulkan kemacetan dan polusi yang mengurangi produktivitas pekerja Indonesia.
Permasalahan besar kedua adalah de-industrialisasi.
Secara umum terdapat dua cara untuk meningkatkan produksi dan ekspor manufaktur. Cara pertama adalah meningkatkan kualitas dan nilai tambah sehingga pembeli bersedia membayar lebih mahal. Contohnya saat ini merk Sony dan Apple banyak dianggap lebih tinggi kualitasnya sehingga produknya tetap laku keras walau lebih tinggi harganya. Namun pendekatan ini membutuhkan tenaga kerja yang tinggi inovasi sehingga dapat menghasilkan produk yang bukan hanya secara teknologi menjadi pionir namun juga user-friendly dan berestetika tinggi. 
Tenaga kerja dengan kemampuan analisis tinggi dan akrab teknologi itu biasanya membutuhkan pendidikan tersier (diploma atau lebih tinggi). Padahal data BPS menyatakan bahwa pada tahun 2011, tenaga kerja di  Indonesia 70,2 % hanya berpendidikan SMP atau lebih rendah. Grafik 2 yang datanya bersumber dari badan statistik resmi Malaysia, Thailand, Korsel dan Indonesia menunjukkan betapa kecilnya penduduk berpendidikan tinggi di Indonesia. Tidak usah dibandingkan Korsel yang sudah menembus 30%, bahkan proporsi serupa di Indonesia masih setengah dari Malaysia dan Thailand yang dalam dekade ini sangat giat meningkatkan pendidikan rakyatnya. Kapan Indonesia menjadi industri  yang maju dan sejahtera kalau permasalahan besar berikut, yaitu kualitas sdm, khususnya akses ke pendidikan tinggi, tidak serius diselesaikan?
Cara kedua adalah menurunkan harga sehingga untuk  jenis barang yang sama produksi Indonesia lebih murah dibandingkan produksi negara lain sehingga merebut pembeli. Namun sulit untuk adu murah dengan Cina yang punya ratusan juta orang di pedalaman yang bersedia pindah ke kota industri pesisir tenggara dan bekerja dengan upah yang rendah. Apalagi mengingat beberapa tahun ini terjadi kenaikan UMR secara konsisten dan tajam tanpa kenaikan produktivitas yang signifikan.
Hal ini dapat ditempuh dengan memindahkan industri Indonesia, khususnya yang padat karya, ke pedalaman atau luar Jawa dimana biaya hidup dan upah pekerja masih kompetitif. Namun pemindahan pabrik memerlukan infrastruktur yang memadai. Nomor satu tentunya ketersediaan listrik untuk beroperasi, sayangnya data terakhir menunjukkan bahwa rata-rata dibutuhkan 108 hari untuk pemasangan listrik.
Setelah listrik terpasang dan beroperasi maka dibutuhkan jalan untuk membawa ke kota atau pelabuhan. Grafik 3 menunjukkan bahwa total panjang jalan teraspal di Indonesia lebih pendek dibandingkan Malaysia dan Thailand. Padahal Indonesia “agak” lebih luas dari kedua negara itu.  Pada tingkat jalan kabupaten, hanya 49% yang berada dalam kondisi layak. Tidak heran Blackberry dan produsen besar lain tidak membangun pabriknya di Indonesia sehingga bagi rakyat kalangan bawah pilihan ekonomi yang banyak diambil adalah menjadi TKI dengan kondisi mengenaskan di negara lain.
Jadi,  Pak/Bu Presiden, tantangan Anda sama sekali tidak kecil.
Sebagai Presiden Anda memiliki dua pilihan besar. Dalam pilihan pertama, Anda tenang-tenang saja membuka pintu lebar-lebar pada modal dan perusahaan asing untuk meningkatkan porsi mereka di perekonomian Indonesia. Toh sebagian besar penduduk Indonesia telah biasa melihat industri Indonesia kalah kompetisi di ASEAN sejak dulu. Presiden tentu bukan Superman yang bisa memutarbalikkan kondisi ekonomi Indonesia dalam waktu singkat. Presiden juga manusia yang punya banyak kelemahan dan hambatan. Rakyat akan maklum, lalu lupa. Dan setelah 5 tahun Anda  bisa untuk pensiun dengan tenang  dan menikmati rumah 20 miliar yang ditetapkan oleh UU nomor 7/1978 dan Kepres 88/2007.
Atau Anda bisa mengambil pilihan kedua, yakni  Anda dapat mencoba mengurangi dampak banjirnya impor dan masuknya tenaga kerja terdidik dengan berbagai non-tariff measure(NTM) untuk mendapat waktu tambahan beberapa tahun sementara pemerintahan Anda ngebut meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan perbaikan infrastruktur serta menindak mafia hukum. Langkah ini akan sulit, melelahkan dan mendatangkan banyak musuh yang berkuasa. 
Seperti kata Presiden John F. Kennedy pada pelantikannya,” ” All this will not be finished in the first 100 days... nor even perhaps in our lifetime on this planet. But let us begin.

Oleh : Berly Martawardaya
Diambil dari http://www.indonesia-2014.com dengan Judul yang sama

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : KOPMA UIN Syahid Jakarta | TIM PSDA | Pengembangan Minat
Copyright © 2011. Cooperative Bulletin Online - All Rights Reserved
Template Created by bayu pm Published by Tim Bulletin
Proudly powered by Blogger